Jumat, 11 September 2009

Kota Langsa: Dulu, Kini dan Nanti

MARI kita kembali melongok Kota Langsa pada masa lalu. Katakanlah sekitar 1950
hingga 1960-an akhir. Data tertulis yang kita pegang mungkin sangat minim
(maklum, kita memang tidak perhatian terhadap dokumentasi atau pengarsipan).
Bersyukurlah, kita masih memiliki orang tua yang sesekali berkenan bercerita
tentang kotanya pada masa lalu itu kepada kita sekarang.

Jauh sebelum era 1950-an dan 1960-an, Langsa merupakan sebuah keresidenan. Itu
mengartikan Langsa satu wilayah besar pada zamannya sejak era kolonial Belanda.
Dia sudah menjadi kota dan pusat pemerintahan kolonial sekaligus. Banyak bukti
fisik peninggalan masa lalu itu bisa menjadi saksi. Gedung Bappeda Aceh Timur,
Pendopo Bupati Aceh Timur, Lapangan Merdeka, dan lainnya. Ini hanya sebagian
bukti dari aspek arsitektur.

Dari aspek ekonomi malah jauh lebih mempesona. Stasiun kereta api yang membelah
wilayah Kota Langsa adalah tempat pemberhentian barang dan manusia dari dan ke
kota-kota lain yang ada di Aceh. Kereta api barang--dulu disebut kereta api
klutuk--mengangkut berbagai hasil komoditi dari berbagai daerah perkebunan yang
ada di sekitar kawasan kota ini (hinterland). Jalur kereta api menuju Pelabuhan
Kuala Langsa menjadi saksi bisu bahwa pelabuhan ini pernah menjadi pelabuhan
besar untuk ekspor dan impor berbagai komoditi, seperti karet (getah), dan
sebagainya. Malah, Gedung Bappeda Aceh Timur juga menyimpan sejarah pernah
menjadi tempat pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI) untuk memenuhi
kebutuhan usaha yang dijalankan para saudara bumi "Serambi Mekkah" yang
bergabung ke dalam Aceh Kongsi.

Pesona Langsa sebagai kekuatan ekonomi di pantai Timur Aceh itu sebenarnya masih
bisa dirasakan hingga sekarang. Walaupun harus kita akui sudah mulai meredup.
Apalagi, sejak Pelabuhan Kuala Langsa ditutup sebagai pelabuhan bebas,
digantikan oleh Pelabuhan Belawan, Medan, pada sekitar 1970-an.

Meredupnya fenomena Langsa sebagai kekuatan ekonomi itu, sekali lagi, makin kuat
ketika konflik kembali pecah pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Pada masa
ini, dua perusahaan kayu lapis yang mampu menyerap ribuan pekerja, tutup total.
Karyawannya pun akhirnya dipecat secara massal. Sebagian dari mereka hingga kini
masih menganggur. Mengapa? Karena belum tercipta lapangan kerja baru yang mampu
menyerap banyak tenaga kerja.

Akhirnya pula, dalam rentang satu dekade ini, Langsa bisa dikatakan mengalami
kemandegan, stagnasi. Hampir tidak terjadi perubahan sungguh berarti dan
mendasar. Gerak kehidupan masyarakat, terutama di bidang ekonomi, sangat lesu.
Masyarakat nyaris tidak bergairah sama sekali untuk melanjutkan kehidupannya.
Kalaupun hidup tampak berjalan, kesan kuatnya tak lebih bahwa memang roda
kehidupan tidak berhenti.

************************

Sekarang, Langsa mulai bergeliat lagi. Tapi, mari jujur: adakah geliat itu sudah
memberi banyak arti? Tanpa menafikan bahwa sebagian dari masyarakat kota ini
terus berjuang melanjutkan dan meningkatkan kualitas hidupnya, geliat itu
sesungguhnya lebih besar akibat faktor dari luar.

Faktor itu adalah bencana tsunami. Bencana yang memilukan sekaligus memberikan
banyak anugerah kepada masyarakat Aceh, tidak terkecuali Kota Langsa.

Bencana ini membawa banyak dana segar, baik bersifat pinjaman maupun hibah.
Jumlahnya saja mencapai triliunan rupiah. Bencana maha dahsyat ini kemudian
dijadikan sebagai langkah tepat membangun ulang Aceh. Maka, bukan hanya daerah
korban tsunami yang menjadi sasaran pembangunan, melainkan seluruh Aceh. Dan
dimulailah rehabilitasi sekaligus rekonstruksi.

Dana segar dialirkan menjadi berbagai proyek pembangunan. Proyek-proyek fisik,
seperti pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, gedung pemerintahan,
perumahan (pemukiman) dilancarkan di seluruh daerah. Sejak 2004 hingga tahun
ini, wajah Aceh pun berubah.
Termasukkah Kota Langsa di dalamnya? Tentu saja! Dalam tulisan sebelumnya sudah
dibahas secara sekilas proyek-proyek yang sumber pembiayaannya berasal dari dana
ini.

Perubahan fisik paling menonjol di Langsa dalam lima tahun terakhir terjadi di
kawasan jalan protokol Ahmad Yani. Di sepanjang jalan ini, katakanlah yang
membentang mulai dari Simpang Tugu hingga Birem Puntong, berdiri ratusan
bangunan baru. Gedung-gedung bertingkat dua, umumnya ruko, mendominasi jenis
bangunan baru yang muncul itu. Selebihnya? Masih sama seperti dulu.

*********************

Apakah itu prestasi Pemerintah Kota (Pemko) Langsa? Kalau melihat sumber dana
pembangunannya, sebagian besar pasti setuju bahwa jawabannya adalah bukan!
Proyek-proyek pembangunan itu lebih banyak bersumber dari dana pinjaman dan
hibah proyek rehabilitasi dan rekonstruksi. Sementara, gedung-gedung baru dan
bertingkat lebih banyak dari swasta. (Mudah-mudahan swasta murni. Karena, kalau
tidak, berarti bukan indikasi bangkitnya perekonomian kota ini)

Ada bukti awal bisa diajukan sebagai argumentasi bahwa Pemko Langsa kurang
memperhatikan pembangunan daerahnya. Kalau sering melintasi pusat pertokoan
Jalan Teuku Umar, cobalah sesekali perhatikan aspalnya. Tampak makin kasar.
Batu-batu kerikilnya mulai menonjol. Permukaan jalan terasa makin kasar. Malah,
secara sporadis bisa kita jumpai lubang-lubang di ruas jalan ini. Ini
membuktikan bahwa jalan tersebut tidak pernah mendapat pengaspalan selama paling
tidak lima tahun terakhir.

Barangkali bukti kemajuan yang bisa kita tangkap di seputar kawasan ini adalah
berdirinya beberapa lampu lalulintas (traffic light). Apakah fungsional? Jika
ditaati--saat merah kita berhenti dan tidak menerobos--berarti berfungsi.
Andaikan lampu warna-warninya yang merah-kuning-hijau itu tetap bisa menyala
teratur berarti juga fungsional.

Kelesuan ekonomi makin terasa di wilayah pinggiran sekaligus perbatasan Kota
Langsa. Mulai Birem Puntong terus menuju Alue Dua dan berakhir di Timbang
Langsa, suasana sepi, barangkali nyaris senyap bisa dirasakan. Nuansa ini makin
terasa sore hingga malam hari.

Ini jelas kontras dibandingkan daerah ini pada periode 1980-an hingga akhir
1990-an. Periode itu merupakan masa jaya industri kayu lapis Aceh Timur. (Saat
itu Langsa masih menjadi ibukota Aceh Timur). Bayangkan saja, dua industri kayu
lapis mampu memberikan sumbangsih pendapatan daerah hingga jutaan dolar Amerika
Serikat (AS). Dan memang, dana sebesar itu sebagian besar masuk ke kas
pemerintah pusat, sementara Aceh Timur menerima sedikit bagiannya melalui dana
bagi hasil yang diberikan setiap tahun.

Ini pemandangan wilayah periferal wilayah Barat. Pemandangan nyaris tanpa
perubahan juga berlaku di wilayah bagian Timur. Setelah Langsa Lama, maka kita
menyusuri Alue Pinang dan Alue Merbau, hingga wilayah perbatasan, pemandangan
sepuluh tahun lalu hampir tidak berbeda dengan saat ini. Sawah-sawah di sekitar
Titi Kembar--persis di samping Krueng Langsa masih seperti dulu. Hampir tidak
ada perubahan wajah yang berarti di sekitar pesantren modern Bustanul Ulum yang
terkenal. Satu-satunya perubahan yang agak melegakan adalah berdirinya sebuah
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Alue Merbau.

Ke wilayah Selatan dari inti kota, pembangunan yang terlihat ialah pengaspalan
jalan di Desa Kebun Lama. Selain itu adalah pembangunan gedung perkuliahan milik
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Cot Kala dan Universitas Samudera
(Unsam) Langsa. Selebihnya? Silakan nilai sendiri.

Bagaimana dengan wilayah Utara, Kuala Langsa? Hasrat Pemko Langsa membangun dan
melengkapi sarana dan fasilitas Pelabuhan Kuala Langsa patut diacungi jempol.
Namun, sekali lagi, implementasinya masih sangat lemah. Sejak masih dalam
kekuasaan Pemkab Aceh Timur hingga Pemko Langsa berusia tujuh tahun, perubahan
yang terjadi di pelabuhan ini ibarat "bekicot berjalan santai".

Dan perubahan yang hampir tak terasakan dampaknya itu makin kuat dirasakan saat
kita menatap kehidupan masyarakatnya. Masyarakat di wilayah pinggiran ini belum
mengalami perubahan berarti. Warga Desa Kuala Langsa, Sei Pauh, Matang
Seulimeng, Alue Dua, Timbang Langsa, Kebun Lama, Seulalah, Gedubang Aceh dan
Gedubang Jawa, Langsa Lama, Sei Pauh, Alue Pinang, dan Alue Merbau masih
berkutat dengan kehidupan seperti dulu: upaya memenuhi kebutuhan nafkahnya
sehari-hari.

Boleh percaya atau tidak, mayoritas masyarakat Desa Timbang Langsa dan Alue Dua
berharap besar dari dua jenis bantuan yang diberikan pemerintah untuk membantu
kelancaran perekonomiannya: bantuan langsung tunai (BLT) dan beras untuk rakyat
miskin (Raskin). Bahkan, sesama mereka rela berbagi rata jatah yang sebanyak 15
kilogram itu asalkan semua mendapat bagian. Karena, mereka merasa layak mendapat
bantuan itu. Argumentasinya sederhana: mereka memang punya sepeda motor, jadi
tidak masuk kategori penerima BLT atau Raskin. Tapi, mereka kesulitan memenuhi
tagihan kredit sepeda motor ini. Untuk bisa makan, keluarganya sulit. Sebab,
mereka tidak punya penghasilan tetap!

Data "Kota Langsa dalam Angka 2008" yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS)
pun sedikit-banyak bisa mengungkap kondisi ekonomi masyarakat wilayah pinggiran
kota ini yang memprihatinkan itu--tentu saja bukan hanya didominasi penduduk
Desa Timbang Langsa dan Alue Dua. Berdasarkan data Perum Pegadaian Cabang Langsa
tahun 2007, jumlah kredit yang disalurkan totalnya mencapai Rp 37,184 miliar
lebih. Kelompok terbesar pertama yang mencari uang pinjaman itu adalah ibu rumah
tangga. Jumlah barang jaminannya sebanyak 8.040 buah. Jumlah total uang yang
dipinjam Rp 21,259 miliar.

Jumlah ini bahkan jauh lebih tinggi daripada yang dipinjam oleh wirausahawan.
Jumlah pinjaman kelompok ini baru mencapai Rp 14,130 miliar lebih.

Masih merujuk data dalam buku sama, patut pula dikemukakan Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM) di Kota Langsa. Data yang ada masih mengacu pada tahun 2006. Di
sini disebutkan, seorang lajang rata-rata membutuhkan Rp 857 ribu/bulan; seorang
pekerja ditambah seorang isterinya Rp 942.700/bulan; seorang pekerja ditambah
seorang isteri dan seorang anak Rp 959.840/bulan; dan seorang pekerja ditambah
seorang isteri dan dua anak membutuhkan rata-rata Rp 976.980/bulan.

Tentu saja, setelah tiga tahun kondisi ekonomi sudah berbeda. Apalagi, negara
kita sempat terimbas krisis yang sampai meningkatkan angka inflasi. Harga-harga
bahan kebutuhan sudah tidak seperti tiga tahun lalu. Jadi, sangat mungkin KHM
2006 itu sudah tidak relevan lagi.

**********************

Kemampuan keuangan Pemko Langsa untuk membangun daerahnya juga minim. Sebagian
besar dana yang masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kota Langsa hanya bersumber dari dana perimbangan dan dana lain-lain penerimaan
yang sah. Kalau dana yang berhasil dihimpun sendiri yang bernama Pendapatan Asli
Daerah (PAD), sungguh kecil nilainya.

Mari kita lihat kembali data "Kota Langsa Dalam Angka 2008" yang diterbitkan BPS
setempat. Dalam buku itu dipaparkan, target penerimaan APBD 2007 sebesar Rp
309,115 miliar lebih. Realisasinya hanya Rp 292,541 miliar lebih. Sekali lagi,
dari jumlah dana yang dimiliki itu, sebagian besar--mencapai 84 persen lebih
berasal dari dana perimbangan yang jumlahnya mencapai Rp 260,088 miliar lebih.
Sementara dari PAD, dari target Rp 16,610 miliar lebih, hanya mampu diterima
sebanyak Rp 10,887 miliar lebih. Betapa minimnya.

Jika ditelisik lagi, akan terungkap pula bahwa sebagian besar dana APBD itu
justru habis untuk belanja aparatur: gaji pegawai, tunjangan jabatan, honorarium
karyawan, pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan sejenisnya. Bukan dialokasikan
sebanyak-banyaknya untuk belanja pembangunan (kini sebutannya belanja modal?).
Memang, buku "Kota Langsa Dalam Angka 2008" ini tidak merinci alokasi belanja
dana APBD itu. Tapi, diyakini kenyataan itulah yang terjadi.

Dengan dana bersumber PAD yang hanya mampu direalisasikan sebesar Rp 10,887
miliar lebih itu, kita bisa bertanya tajam: apa yang bisa dilakukan dengan dana
sebesar itu sementara kebutuhannya sangat banyak? Rakyat membutuhkan jalan
mulus, kemiskinan harus diatasi dengan memberikan bantuan-bantuan modal usaha
kepada petani, pengusaha kecil, dan sebagainya. Masih banyak lagi jenis
kebutuhan yang membutuhkan dana hingga ratusan milyaran untuk ditangani.

Pemko Langsa bisa saja mengupayakan dana tambahan untuk kebutuhan pembangunan
itu. Salah satunya dengan cara berhutang dari pemerintah pusat. Akan tetapi,
jika kemampuan keuangan masih sungguh lemah seperti saat ini, tentu saja kita
patut khawatir akan kemampuan membayar utang berikut bunganya. Jangan-jangan
nanti setelah dihitung-hitung, Pemko Langsa terus-menerus defisit.

*************************

Sejak reformasi digulirkan, pertumbuhan daerah otonom di Republik Indonesia ini
sungguh luar biasa cepat. Hingga tahun lalu, jumlah provinsi meningkat menjadi
33 provinsi dan kabupaten/kota sudah berjumlah lebih dari 400 buah.

Mengenaskannya, perkembangan positif itu--antara lain ditandai dengan pemberian
otonomi seluas-luasnya dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah yang jauh
berbeda dibandingkan Orde Baru--hampir berbanding terbalik dengan kondisi daerah
hasil pemekaran. Jumlah daerah baru yang berhasil mengimbangi atau lebih maju
dari kabupaten induk sangat kecil persentasenya. Sebagian besar justru bernasib
lebih buruk: gagal berkembang!

Fenomena ini mulai menimbulkan kegelisahan, baik di kalangan aparatur
pemerintahan maupun rakyat sendiri. Suara-suara agar pemekaran daerah ditinjau
ulang atau dihentikan mulai terdengar. Peristiwa "Medan Berdarah"--yaitu
meninggalnya Ketua DPRD Sumut Azis Angkat akibat aksi demonstrasi yang berakhir
anarki menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) tahun 2008--membuat
suara-suara ini makin mendapatkan momentum. Bukan cuma itu, terhadap
daerah-daerah baru hasil pemekaranpun disarankan agar dievaluasi lebih lanjut
dan mendalam. Berdasarkan hasil evaluasi itu pemerintah disarankan bersikap
tegas: bagi kabupaten/kota baru hasil pemekaran yang tidak berhasil maju, agar
digabungkan kembali (merger) dengan kabupaten/kota induk.

Masyarakat Kota Langsa tentu saja harus khawatir dengan kebijakan ini. Sebab,
kebijakan itu potensial menimpa Kota Langsa. Karena, sebagaimana sering
disuarakan dan menjadi kegelisahan masyarakat kota ini, sejak menjadi kotamadya,
hampir-hampir tidak terjadi perubahan fundamental di kota ini dari berbagai
sisi.

Seandainya kebijakan peleburan kembali itu menimpa Kota Langsa, alangkah
sia-sianya perjuangan para tokoh kota ini yang telah berjuang selama
bertahun-tahun mewujudkan berdirinya kotamadya. Bahkan, demi terwujudnya impian
itu, Pemkab Aceh Timur sendiri rela menerima "tawaran" pemerintah pusat agar
pembentukan Langsa sebagai kotamadya secara bertahap.

Bersama Lhokseumawe (Aceh Utara), Langsa diresmikan sebagai kota administratif
(Kotif) pada 1992. Keberhasilan langkah awal itu baru mencapai puncaknya
sembilan tahun kemudian ketika pemerintah pusat mensahkan dan meresmikan
berdirinya Kotamadya Langsa pada 2001.
Selain itu, seandainya kebijakan merger itu menimpa Langsa, ini secara tegas
menyampaikan pelajaran berharga kepada kita. Pelajaran itu adalah ketidakmampuan
kita menggapai cita-cita atau harapan yang kita patrikan sendiri. Laksana
pepatah, kita ternyata "tong kosong nyaring bunyinya".

Di antara faktor yang dijadikan alasan menuntut pembentukan Langsa sebagai
kotamadya adalah keyakinan bahwa kota kita berpotensi besar untuk maju dan
berkembang secara mandiri. Menjadikannya kotamadya akan meringkas pelayanan
pemerintahan lebih cepat, efektif dan efesien. Dengan makin dekatnya pelayanan
berbagai bidang itu, maka kesejahteraan dan kemakmuran lebih mudah tercapai.

Akan tetapi, antara harapan dan kenyataan itu sudah hampir seperti "jauh
panggang dari api". Jika kita tidak berhati-hati, maka kita bisa jadi terpaksa
meneguk empedu: Kotamadya Langsa dileburkan kembali dan hilang dari peta
pemerintahan Republik Indonesia!

***************************

Diplomat dan Duta Besar Singapura untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Kishore Mahbubani, menulis sebuah buku berjudul "Can Asians Think?". Buku ini
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul "Bisakah Orang Asia
Berpikir?" (2005). Judulnya sangat bernada menyerang (provokatif) dan sensitif.

Ada tiga jawaban yang diberikannya terhadap pertanyaan itu. Pertama: tidak,
mereka tidak bisa berpikir. Kedua: ya, mereka bisa berpikir. Terakhir: mungkin
mereka bisa berpikir.

Untuk alternatif pertama, Kishore Mahbubani mengutarakan, alasan orang Asia
tidak bisa berpikir ialah kontradiksi antara dunia Asia saat ini dengan dunia
Barat dibandingkan di masa lalu. Pada masa lalu, saat dunia Barat masih dalam
kegelapan, justru dunia Asia sudah jauh unggul Berbagai kebudayaan dari benua
ini menjadi kebudayaan dominan.

Tapi, sekarang kondisinya berbalik 180 derajat. Ketika dunia Barat berhasil
bangkit selama lima abad terakhir, dunia Asia justru makin surut. Pamornya kian
tenggelam. Nyaris tidak ada yang bisa dibanggakan lagi dari Asia. Untuk
alternatif jawaban ini, Kishore Mahbubani menguncinya dengan sebuah kalimat,
"Jika otak orang Asia bisa berpikir, mengapa saat ini hanya satu bangsa Asia
yang mampu menyetarakan dirinya dengan bangsa barat?" Pernyataannya itu merujuk
kepada keberhasilan Jepang mengimbangi bangsa Barat.

Akan halnya alternatif jawaban kedua bahwa orang Asia bisa berpikir, ada tiga
alasan yang dilontarkannya. Pertama, dan ini yang paling jelas, adalah prestasi
ekonomi masyarakat Asia Timur yang luar biasa dalam beberapa dekade belakangan.
Bahkan prestasi ekonomi ini juga diikuti beberapa negara Asia lain.
Menakjubkannya, prestasi itu diraih dalam waktu lebih singkat dibandingkan
dengan kelompok ekonomi lain di dunia.

Alasan kedua, menurutnya, saat ini sudah mulai terjadi perubahan penting dalam
pikiran-pikiran orang Asia. Perubahan itu ialah; mereka tidak lagi percaya bahwa
satu-satunya cara untuk bisa maju meningkatkan diri menandingi bangsa Barat
adalah dengan menjiplak atau membebek (mengekor). Saat ini bangsa Asia yakin
bahwa mereka bisa membuat solusi-solusi sendiri untuk itu. Bangsa-bangsa Asia
memang ingin pula mencapai keberhasilan seperti yang dicapai bangsa Barat.
Tetapi, bangsa Asia juga tak ingin mencapai keberhasilan itu dengan sekaligus
mendapatkan dampak negatif dari kemjauan yang terjadi pada bangsa Barat.
Bangsa-bangsa Asia tengah mencari solusi untuk mencapai kemajuan tanpa
menghasilkan penyakit sosial dan masyarakat.

Sedangkan alasan ketiga, ialah, ternyata saat ini pun bukan satu-satunya
periode ketika pikiran Asia mulai bergerak. Semakin banyak orang Asia melampaui
kehidupan dari tingkat survival, mereka pun semakin memiliki kebebasan ekonomis
untuk berpikir, berefleksi, dan menemukan ulang warisan budayanya. Ada kesadaran
yang tengah berkembang dalam pikiran mereka bahwa masyarakat mereka, seperti
masyarakat di Barat, memiliki warisan filsafat, budaya, dan sosial yang kaya
yang bisa dijadikan sandaran dan digunakan untuk mengembangkan masyarakat modern
dan berkembang. Singkat kata: masyarakat Asia ingin menjadikan dan melakukan
definisi ulang atas warisan masa lalu untuk mencapai kemajuan dan menandingi
masyarakat Barat.

Masyarakat Kota Langsa adalah bagian dari masyarakat Asia. Kita bisa menarik
pertanyaan sekaligus alternatif jawaban yang diberikan Kishore Mahbubani itu
untuk kepentingan diri dan daerah kita. Kita harus mampu menempatkan diri secara
tepat: apakah kita saat ini tergolong kepada masyarakat Asia yang tidak bisa
berpikir atau sebaliknya, kita adalah masyarakat yang bisa berpikir.

Fakta-fakta obyektif hari ini yang telah dan tengah terjadi di Kota Langsa
adalah bahwa kita gagal melakukan "lompatan jauh ke depan" sejak menjadi daerah
otonom. Kondisi berbagai sektor seolah jalan di tempat. Perubahan-perubahan
kemajuan yang terjadi, kalau bukan artifisial atau palsu, bisa dikatakan nyaris
tak berarti dihadapkan dengan perubahan zaman yang tengah berlangsung. Kebutuhan
untuk bisa tetap bertahan (survival of the fittest) yang ditunjukkan nyaris
tidak berarti sama sekali dibandingkan derasnya perubahan zaman. Analogi
sederhananya: kita hendak merobohkan benteng lawan hanya dengan menggunakan
ketapel, sementara orang lain sudah menggunakan pesawat tempur!

Padahal, kalau mau, kita sebenarnya juga bisa menggunakan pesawat tempur untuk
menghancurkan benteng (baca: ketertinggalan) itu. Kita hanya tinggal
meningkatkan kemampuan yang sebenarnya juga kita miliki sebagaimana dimiliki
orang lain.

Apalagi, di sisi lain, kita punya semangat masa lalu yang bisa dijadikan api
kebangkitan jiwa. Jika bangsa Jepang misalnya memiliki semangat Bushido, maka
masyarakat Kota Langsa memiliki jiwa perjuangan 1945 (semangat melawan
penjajahan Belanda) dari para pahlawan. Kita, misalnya, bisa menerapkan semangat
perjuangan Bung Karno, Teuku Umar, atau Iskandar Muda. Semangat pantang menyerah
untuk mencapai keberhasilan inilah yang harus ditemukan, dinyalakan dan
dikobarkan kembali.

Fakta historis juga mengungkapkan bahwa kita bisa mencapai kemajuan seperti
bangsa Barat. Berabad-abad lalu, posisi kita tidak berbeda, bahkan mungkin lebih
unggul dibandingkan dengan bangsa-bangsa Barat yang saat ini menjadi
kekuatan-kekuatan utama dunia.

Intinya adalah kita membutuhkan perubahan pola pikir. Barangkali, di antara kita
sudah banyak yang sering mendengar ungkapan "Berpikir global, bertindak lokal".
Artinya, kita membuka dan meningkatkan kemampuan diri seoptimal mungkin demi
memajukan diri atau daerah kita sendiri. Dengan cara demikian, pada akhirnya
kita juga bisa menjelma menjadi kekuatan global.

Perubahan pola pikir itu paling tepat dimulai dari sisi pendidikan: membangun
jiwa dan mental yang kuat yang disandingkan dengan kecerdasan. Sudah saatnya
kita membangun jiwa pantang menyerah.

Medan, 3 September 2009

Guntur Adi Sukma
Alumni Fakultas Hukum Universitas Samudra (Unsam) Langsa 2001

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial