Jumat, 11 September 2009

Kota Langsa: Dulu, Kini dan Nanti

MARI kita kembali melongok Kota Langsa pada masa lalu. Katakanlah sekitar 1950
hingga 1960-an akhir. Data tertulis yang kita pegang mungkin sangat minim
(maklum, kita memang tidak perhatian terhadap dokumentasi atau pengarsipan).
Bersyukurlah, kita masih memiliki orang tua yang sesekali berkenan bercerita
tentang kotanya pada masa lalu itu kepada kita sekarang.

Jauh sebelum era 1950-an dan 1960-an, Langsa merupakan sebuah keresidenan. Itu
mengartikan Langsa satu wilayah besar pada zamannya sejak era kolonial Belanda.
Dia sudah menjadi kota dan pusat pemerintahan kolonial sekaligus. Banyak bukti
fisik peninggalan masa lalu itu bisa menjadi saksi. Gedung Bappeda Aceh Timur,
Pendopo Bupati Aceh Timur, Lapangan Merdeka, dan lainnya. Ini hanya sebagian
bukti dari aspek arsitektur.

Dari aspek ekonomi malah jauh lebih mempesona. Stasiun kereta api yang membelah
wilayah Kota Langsa adalah tempat pemberhentian barang dan manusia dari dan ke
kota-kota lain yang ada di Aceh. Kereta api barang--dulu disebut kereta api
klutuk--mengangkut berbagai hasil komoditi dari berbagai daerah perkebunan yang
ada di sekitar kawasan kota ini (hinterland). Jalur kereta api menuju Pelabuhan
Kuala Langsa menjadi saksi bisu bahwa pelabuhan ini pernah menjadi pelabuhan
besar untuk ekspor dan impor berbagai komoditi, seperti karet (getah), dan
sebagainya. Malah, Gedung Bappeda Aceh Timur juga menyimpan sejarah pernah
menjadi tempat pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI) untuk memenuhi
kebutuhan usaha yang dijalankan para saudara bumi "Serambi Mekkah" yang
bergabung ke dalam Aceh Kongsi.

Pesona Langsa sebagai kekuatan ekonomi di pantai Timur Aceh itu sebenarnya masih
bisa dirasakan hingga sekarang. Walaupun harus kita akui sudah mulai meredup.
Apalagi, sejak Pelabuhan Kuala Langsa ditutup sebagai pelabuhan bebas,
digantikan oleh Pelabuhan Belawan, Medan, pada sekitar 1970-an.

Meredupnya fenomena Langsa sebagai kekuatan ekonomi itu, sekali lagi, makin kuat
ketika konflik kembali pecah pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Pada masa
ini, dua perusahaan kayu lapis yang mampu menyerap ribuan pekerja, tutup total.
Karyawannya pun akhirnya dipecat secara massal. Sebagian dari mereka hingga kini
masih menganggur. Mengapa? Karena belum tercipta lapangan kerja baru yang mampu
menyerap banyak tenaga kerja.

Akhirnya pula, dalam rentang satu dekade ini, Langsa bisa dikatakan mengalami
kemandegan, stagnasi. Hampir tidak terjadi perubahan sungguh berarti dan
mendasar. Gerak kehidupan masyarakat, terutama di bidang ekonomi, sangat lesu.
Masyarakat nyaris tidak bergairah sama sekali untuk melanjutkan kehidupannya.
Kalaupun hidup tampak berjalan, kesan kuatnya tak lebih bahwa memang roda
kehidupan tidak berhenti.

************************

Sekarang, Langsa mulai bergeliat lagi. Tapi, mari jujur: adakah geliat itu sudah
memberi banyak arti? Tanpa menafikan bahwa sebagian dari masyarakat kota ini
terus berjuang melanjutkan dan meningkatkan kualitas hidupnya, geliat itu
sesungguhnya lebih besar akibat faktor dari luar.

Faktor itu adalah bencana tsunami. Bencana yang memilukan sekaligus memberikan
banyak anugerah kepada masyarakat Aceh, tidak terkecuali Kota Langsa.

Bencana ini membawa banyak dana segar, baik bersifat pinjaman maupun hibah.
Jumlahnya saja mencapai triliunan rupiah. Bencana maha dahsyat ini kemudian
dijadikan sebagai langkah tepat membangun ulang Aceh. Maka, bukan hanya daerah
korban tsunami yang menjadi sasaran pembangunan, melainkan seluruh Aceh. Dan
dimulailah rehabilitasi sekaligus rekonstruksi.

Dana segar dialirkan menjadi berbagai proyek pembangunan. Proyek-proyek fisik,
seperti pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, gedung pemerintahan,
perumahan (pemukiman) dilancarkan di seluruh daerah. Sejak 2004 hingga tahun
ini, wajah Aceh pun berubah.
Termasukkah Kota Langsa di dalamnya? Tentu saja! Dalam tulisan sebelumnya sudah
dibahas secara sekilas proyek-proyek yang sumber pembiayaannya berasal dari dana
ini.

Perubahan fisik paling menonjol di Langsa dalam lima tahun terakhir terjadi di
kawasan jalan protokol Ahmad Yani. Di sepanjang jalan ini, katakanlah yang
membentang mulai dari Simpang Tugu hingga Birem Puntong, berdiri ratusan
bangunan baru. Gedung-gedung bertingkat dua, umumnya ruko, mendominasi jenis
bangunan baru yang muncul itu. Selebihnya? Masih sama seperti dulu.

*********************

Apakah itu prestasi Pemerintah Kota (Pemko) Langsa? Kalau melihat sumber dana
pembangunannya, sebagian besar pasti setuju bahwa jawabannya adalah bukan!
Proyek-proyek pembangunan itu lebih banyak bersumber dari dana pinjaman dan
hibah proyek rehabilitasi dan rekonstruksi. Sementara, gedung-gedung baru dan
bertingkat lebih banyak dari swasta. (Mudah-mudahan swasta murni. Karena, kalau
tidak, berarti bukan indikasi bangkitnya perekonomian kota ini)

Ada bukti awal bisa diajukan sebagai argumentasi bahwa Pemko Langsa kurang
memperhatikan pembangunan daerahnya. Kalau sering melintasi pusat pertokoan
Jalan Teuku Umar, cobalah sesekali perhatikan aspalnya. Tampak makin kasar.
Batu-batu kerikilnya mulai menonjol. Permukaan jalan terasa makin kasar. Malah,
secara sporadis bisa kita jumpai lubang-lubang di ruas jalan ini. Ini
membuktikan bahwa jalan tersebut tidak pernah mendapat pengaspalan selama paling
tidak lima tahun terakhir.

Barangkali bukti kemajuan yang bisa kita tangkap di seputar kawasan ini adalah
berdirinya beberapa lampu lalulintas (traffic light). Apakah fungsional? Jika
ditaati--saat merah kita berhenti dan tidak menerobos--berarti berfungsi.
Andaikan lampu warna-warninya yang merah-kuning-hijau itu tetap bisa menyala
teratur berarti juga fungsional.

Kelesuan ekonomi makin terasa di wilayah pinggiran sekaligus perbatasan Kota
Langsa. Mulai Birem Puntong terus menuju Alue Dua dan berakhir di Timbang
Langsa, suasana sepi, barangkali nyaris senyap bisa dirasakan. Nuansa ini makin
terasa sore hingga malam hari.

Ini jelas kontras dibandingkan daerah ini pada periode 1980-an hingga akhir
1990-an. Periode itu merupakan masa jaya industri kayu lapis Aceh Timur. (Saat
itu Langsa masih menjadi ibukota Aceh Timur). Bayangkan saja, dua industri kayu
lapis mampu memberikan sumbangsih pendapatan daerah hingga jutaan dolar Amerika
Serikat (AS). Dan memang, dana sebesar itu sebagian besar masuk ke kas
pemerintah pusat, sementara Aceh Timur menerima sedikit bagiannya melalui dana
bagi hasil yang diberikan setiap tahun.

Ini pemandangan wilayah periferal wilayah Barat. Pemandangan nyaris tanpa
perubahan juga berlaku di wilayah bagian Timur. Setelah Langsa Lama, maka kita
menyusuri Alue Pinang dan Alue Merbau, hingga wilayah perbatasan, pemandangan
sepuluh tahun lalu hampir tidak berbeda dengan saat ini. Sawah-sawah di sekitar
Titi Kembar--persis di samping Krueng Langsa masih seperti dulu. Hampir tidak
ada perubahan wajah yang berarti di sekitar pesantren modern Bustanul Ulum yang
terkenal. Satu-satunya perubahan yang agak melegakan adalah berdirinya sebuah
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Alue Merbau.

Ke wilayah Selatan dari inti kota, pembangunan yang terlihat ialah pengaspalan
jalan di Desa Kebun Lama. Selain itu adalah pembangunan gedung perkuliahan milik
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Cot Kala dan Universitas Samudera
(Unsam) Langsa. Selebihnya? Silakan nilai sendiri.

Bagaimana dengan wilayah Utara, Kuala Langsa? Hasrat Pemko Langsa membangun dan
melengkapi sarana dan fasilitas Pelabuhan Kuala Langsa patut diacungi jempol.
Namun, sekali lagi, implementasinya masih sangat lemah. Sejak masih dalam
kekuasaan Pemkab Aceh Timur hingga Pemko Langsa berusia tujuh tahun, perubahan
yang terjadi di pelabuhan ini ibarat "bekicot berjalan santai".

Dan perubahan yang hampir tak terasakan dampaknya itu makin kuat dirasakan saat
kita menatap kehidupan masyarakatnya. Masyarakat di wilayah pinggiran ini belum
mengalami perubahan berarti. Warga Desa Kuala Langsa, Sei Pauh, Matang
Seulimeng, Alue Dua, Timbang Langsa, Kebun Lama, Seulalah, Gedubang Aceh dan
Gedubang Jawa, Langsa Lama, Sei Pauh, Alue Pinang, dan Alue Merbau masih
berkutat dengan kehidupan seperti dulu: upaya memenuhi kebutuhan nafkahnya
sehari-hari.

Boleh percaya atau tidak, mayoritas masyarakat Desa Timbang Langsa dan Alue Dua
berharap besar dari dua jenis bantuan yang diberikan pemerintah untuk membantu
kelancaran perekonomiannya: bantuan langsung tunai (BLT) dan beras untuk rakyat
miskin (Raskin). Bahkan, sesama mereka rela berbagi rata jatah yang sebanyak 15
kilogram itu asalkan semua mendapat bagian. Karena, mereka merasa layak mendapat
bantuan itu. Argumentasinya sederhana: mereka memang punya sepeda motor, jadi
tidak masuk kategori penerima BLT atau Raskin. Tapi, mereka kesulitan memenuhi
tagihan kredit sepeda motor ini. Untuk bisa makan, keluarganya sulit. Sebab,
mereka tidak punya penghasilan tetap!

Data "Kota Langsa dalam Angka 2008" yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS)
pun sedikit-banyak bisa mengungkap kondisi ekonomi masyarakat wilayah pinggiran
kota ini yang memprihatinkan itu--tentu saja bukan hanya didominasi penduduk
Desa Timbang Langsa dan Alue Dua. Berdasarkan data Perum Pegadaian Cabang Langsa
tahun 2007, jumlah kredit yang disalurkan totalnya mencapai Rp 37,184 miliar
lebih. Kelompok terbesar pertama yang mencari uang pinjaman itu adalah ibu rumah
tangga. Jumlah barang jaminannya sebanyak 8.040 buah. Jumlah total uang yang
dipinjam Rp 21,259 miliar.

Jumlah ini bahkan jauh lebih tinggi daripada yang dipinjam oleh wirausahawan.
Jumlah pinjaman kelompok ini baru mencapai Rp 14,130 miliar lebih.

Masih merujuk data dalam buku sama, patut pula dikemukakan Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM) di Kota Langsa. Data yang ada masih mengacu pada tahun 2006. Di
sini disebutkan, seorang lajang rata-rata membutuhkan Rp 857 ribu/bulan; seorang
pekerja ditambah seorang isterinya Rp 942.700/bulan; seorang pekerja ditambah
seorang isteri dan seorang anak Rp 959.840/bulan; dan seorang pekerja ditambah
seorang isteri dan dua anak membutuhkan rata-rata Rp 976.980/bulan.

Tentu saja, setelah tiga tahun kondisi ekonomi sudah berbeda. Apalagi, negara
kita sempat terimbas krisis yang sampai meningkatkan angka inflasi. Harga-harga
bahan kebutuhan sudah tidak seperti tiga tahun lalu. Jadi, sangat mungkin KHM
2006 itu sudah tidak relevan lagi.

**********************

Kemampuan keuangan Pemko Langsa untuk membangun daerahnya juga minim. Sebagian
besar dana yang masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kota Langsa hanya bersumber dari dana perimbangan dan dana lain-lain penerimaan
yang sah. Kalau dana yang berhasil dihimpun sendiri yang bernama Pendapatan Asli
Daerah (PAD), sungguh kecil nilainya.

Mari kita lihat kembali data "Kota Langsa Dalam Angka 2008" yang diterbitkan BPS
setempat. Dalam buku itu dipaparkan, target penerimaan APBD 2007 sebesar Rp
309,115 miliar lebih. Realisasinya hanya Rp 292,541 miliar lebih. Sekali lagi,
dari jumlah dana yang dimiliki itu, sebagian besar--mencapai 84 persen lebih
berasal dari dana perimbangan yang jumlahnya mencapai Rp 260,088 miliar lebih.
Sementara dari PAD, dari target Rp 16,610 miliar lebih, hanya mampu diterima
sebanyak Rp 10,887 miliar lebih. Betapa minimnya.

Jika ditelisik lagi, akan terungkap pula bahwa sebagian besar dana APBD itu
justru habis untuk belanja aparatur: gaji pegawai, tunjangan jabatan, honorarium
karyawan, pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan sejenisnya. Bukan dialokasikan
sebanyak-banyaknya untuk belanja pembangunan (kini sebutannya belanja modal?).
Memang, buku "Kota Langsa Dalam Angka 2008" ini tidak merinci alokasi belanja
dana APBD itu. Tapi, diyakini kenyataan itulah yang terjadi.

Dengan dana bersumber PAD yang hanya mampu direalisasikan sebesar Rp 10,887
miliar lebih itu, kita bisa bertanya tajam: apa yang bisa dilakukan dengan dana
sebesar itu sementara kebutuhannya sangat banyak? Rakyat membutuhkan jalan
mulus, kemiskinan harus diatasi dengan memberikan bantuan-bantuan modal usaha
kepada petani, pengusaha kecil, dan sebagainya. Masih banyak lagi jenis
kebutuhan yang membutuhkan dana hingga ratusan milyaran untuk ditangani.

Pemko Langsa bisa saja mengupayakan dana tambahan untuk kebutuhan pembangunan
itu. Salah satunya dengan cara berhutang dari pemerintah pusat. Akan tetapi,
jika kemampuan keuangan masih sungguh lemah seperti saat ini, tentu saja kita
patut khawatir akan kemampuan membayar utang berikut bunganya. Jangan-jangan
nanti setelah dihitung-hitung, Pemko Langsa terus-menerus defisit.

*************************

Sejak reformasi digulirkan, pertumbuhan daerah otonom di Republik Indonesia ini
sungguh luar biasa cepat. Hingga tahun lalu, jumlah provinsi meningkat menjadi
33 provinsi dan kabupaten/kota sudah berjumlah lebih dari 400 buah.

Mengenaskannya, perkembangan positif itu--antara lain ditandai dengan pemberian
otonomi seluas-luasnya dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah yang jauh
berbeda dibandingkan Orde Baru--hampir berbanding terbalik dengan kondisi daerah
hasil pemekaran. Jumlah daerah baru yang berhasil mengimbangi atau lebih maju
dari kabupaten induk sangat kecil persentasenya. Sebagian besar justru bernasib
lebih buruk: gagal berkembang!

Fenomena ini mulai menimbulkan kegelisahan, baik di kalangan aparatur
pemerintahan maupun rakyat sendiri. Suara-suara agar pemekaran daerah ditinjau
ulang atau dihentikan mulai terdengar. Peristiwa "Medan Berdarah"--yaitu
meninggalnya Ketua DPRD Sumut Azis Angkat akibat aksi demonstrasi yang berakhir
anarki menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) tahun 2008--membuat
suara-suara ini makin mendapatkan momentum. Bukan cuma itu, terhadap
daerah-daerah baru hasil pemekaranpun disarankan agar dievaluasi lebih lanjut
dan mendalam. Berdasarkan hasil evaluasi itu pemerintah disarankan bersikap
tegas: bagi kabupaten/kota baru hasil pemekaran yang tidak berhasil maju, agar
digabungkan kembali (merger) dengan kabupaten/kota induk.

Masyarakat Kota Langsa tentu saja harus khawatir dengan kebijakan ini. Sebab,
kebijakan itu potensial menimpa Kota Langsa. Karena, sebagaimana sering
disuarakan dan menjadi kegelisahan masyarakat kota ini, sejak menjadi kotamadya,
hampir-hampir tidak terjadi perubahan fundamental di kota ini dari berbagai
sisi.

Seandainya kebijakan peleburan kembali itu menimpa Kota Langsa, alangkah
sia-sianya perjuangan para tokoh kota ini yang telah berjuang selama
bertahun-tahun mewujudkan berdirinya kotamadya. Bahkan, demi terwujudnya impian
itu, Pemkab Aceh Timur sendiri rela menerima "tawaran" pemerintah pusat agar
pembentukan Langsa sebagai kotamadya secara bertahap.

Bersama Lhokseumawe (Aceh Utara), Langsa diresmikan sebagai kota administratif
(Kotif) pada 1992. Keberhasilan langkah awal itu baru mencapai puncaknya
sembilan tahun kemudian ketika pemerintah pusat mensahkan dan meresmikan
berdirinya Kotamadya Langsa pada 2001.
Selain itu, seandainya kebijakan merger itu menimpa Langsa, ini secara tegas
menyampaikan pelajaran berharga kepada kita. Pelajaran itu adalah ketidakmampuan
kita menggapai cita-cita atau harapan yang kita patrikan sendiri. Laksana
pepatah, kita ternyata "tong kosong nyaring bunyinya".

Di antara faktor yang dijadikan alasan menuntut pembentukan Langsa sebagai
kotamadya adalah keyakinan bahwa kota kita berpotensi besar untuk maju dan
berkembang secara mandiri. Menjadikannya kotamadya akan meringkas pelayanan
pemerintahan lebih cepat, efektif dan efesien. Dengan makin dekatnya pelayanan
berbagai bidang itu, maka kesejahteraan dan kemakmuran lebih mudah tercapai.

Akan tetapi, antara harapan dan kenyataan itu sudah hampir seperti "jauh
panggang dari api". Jika kita tidak berhati-hati, maka kita bisa jadi terpaksa
meneguk empedu: Kotamadya Langsa dileburkan kembali dan hilang dari peta
pemerintahan Republik Indonesia!

***************************

Diplomat dan Duta Besar Singapura untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Kishore Mahbubani, menulis sebuah buku berjudul "Can Asians Think?". Buku ini
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul "Bisakah Orang Asia
Berpikir?" (2005). Judulnya sangat bernada menyerang (provokatif) dan sensitif.

Ada tiga jawaban yang diberikannya terhadap pertanyaan itu. Pertama: tidak,
mereka tidak bisa berpikir. Kedua: ya, mereka bisa berpikir. Terakhir: mungkin
mereka bisa berpikir.

Untuk alternatif pertama, Kishore Mahbubani mengutarakan, alasan orang Asia
tidak bisa berpikir ialah kontradiksi antara dunia Asia saat ini dengan dunia
Barat dibandingkan di masa lalu. Pada masa lalu, saat dunia Barat masih dalam
kegelapan, justru dunia Asia sudah jauh unggul Berbagai kebudayaan dari benua
ini menjadi kebudayaan dominan.

Tapi, sekarang kondisinya berbalik 180 derajat. Ketika dunia Barat berhasil
bangkit selama lima abad terakhir, dunia Asia justru makin surut. Pamornya kian
tenggelam. Nyaris tidak ada yang bisa dibanggakan lagi dari Asia. Untuk
alternatif jawaban ini, Kishore Mahbubani menguncinya dengan sebuah kalimat,
"Jika otak orang Asia bisa berpikir, mengapa saat ini hanya satu bangsa Asia
yang mampu menyetarakan dirinya dengan bangsa barat?" Pernyataannya itu merujuk
kepada keberhasilan Jepang mengimbangi bangsa Barat.

Akan halnya alternatif jawaban kedua bahwa orang Asia bisa berpikir, ada tiga
alasan yang dilontarkannya. Pertama, dan ini yang paling jelas, adalah prestasi
ekonomi masyarakat Asia Timur yang luar biasa dalam beberapa dekade belakangan.
Bahkan prestasi ekonomi ini juga diikuti beberapa negara Asia lain.
Menakjubkannya, prestasi itu diraih dalam waktu lebih singkat dibandingkan
dengan kelompok ekonomi lain di dunia.

Alasan kedua, menurutnya, saat ini sudah mulai terjadi perubahan penting dalam
pikiran-pikiran orang Asia. Perubahan itu ialah; mereka tidak lagi percaya bahwa
satu-satunya cara untuk bisa maju meningkatkan diri menandingi bangsa Barat
adalah dengan menjiplak atau membebek (mengekor). Saat ini bangsa Asia yakin
bahwa mereka bisa membuat solusi-solusi sendiri untuk itu. Bangsa-bangsa Asia
memang ingin pula mencapai keberhasilan seperti yang dicapai bangsa Barat.
Tetapi, bangsa Asia juga tak ingin mencapai keberhasilan itu dengan sekaligus
mendapatkan dampak negatif dari kemjauan yang terjadi pada bangsa Barat.
Bangsa-bangsa Asia tengah mencari solusi untuk mencapai kemajuan tanpa
menghasilkan penyakit sosial dan masyarakat.

Sedangkan alasan ketiga, ialah, ternyata saat ini pun bukan satu-satunya
periode ketika pikiran Asia mulai bergerak. Semakin banyak orang Asia melampaui
kehidupan dari tingkat survival, mereka pun semakin memiliki kebebasan ekonomis
untuk berpikir, berefleksi, dan menemukan ulang warisan budayanya. Ada kesadaran
yang tengah berkembang dalam pikiran mereka bahwa masyarakat mereka, seperti
masyarakat di Barat, memiliki warisan filsafat, budaya, dan sosial yang kaya
yang bisa dijadikan sandaran dan digunakan untuk mengembangkan masyarakat modern
dan berkembang. Singkat kata: masyarakat Asia ingin menjadikan dan melakukan
definisi ulang atas warisan masa lalu untuk mencapai kemajuan dan menandingi
masyarakat Barat.

Masyarakat Kota Langsa adalah bagian dari masyarakat Asia. Kita bisa menarik
pertanyaan sekaligus alternatif jawaban yang diberikan Kishore Mahbubani itu
untuk kepentingan diri dan daerah kita. Kita harus mampu menempatkan diri secara
tepat: apakah kita saat ini tergolong kepada masyarakat Asia yang tidak bisa
berpikir atau sebaliknya, kita adalah masyarakat yang bisa berpikir.

Fakta-fakta obyektif hari ini yang telah dan tengah terjadi di Kota Langsa
adalah bahwa kita gagal melakukan "lompatan jauh ke depan" sejak menjadi daerah
otonom. Kondisi berbagai sektor seolah jalan di tempat. Perubahan-perubahan
kemajuan yang terjadi, kalau bukan artifisial atau palsu, bisa dikatakan nyaris
tak berarti dihadapkan dengan perubahan zaman yang tengah berlangsung. Kebutuhan
untuk bisa tetap bertahan (survival of the fittest) yang ditunjukkan nyaris
tidak berarti sama sekali dibandingkan derasnya perubahan zaman. Analogi
sederhananya: kita hendak merobohkan benteng lawan hanya dengan menggunakan
ketapel, sementara orang lain sudah menggunakan pesawat tempur!

Padahal, kalau mau, kita sebenarnya juga bisa menggunakan pesawat tempur untuk
menghancurkan benteng (baca: ketertinggalan) itu. Kita hanya tinggal
meningkatkan kemampuan yang sebenarnya juga kita miliki sebagaimana dimiliki
orang lain.

Apalagi, di sisi lain, kita punya semangat masa lalu yang bisa dijadikan api
kebangkitan jiwa. Jika bangsa Jepang misalnya memiliki semangat Bushido, maka
masyarakat Kota Langsa memiliki jiwa perjuangan 1945 (semangat melawan
penjajahan Belanda) dari para pahlawan. Kita, misalnya, bisa menerapkan semangat
perjuangan Bung Karno, Teuku Umar, atau Iskandar Muda. Semangat pantang menyerah
untuk mencapai keberhasilan inilah yang harus ditemukan, dinyalakan dan
dikobarkan kembali.

Fakta historis juga mengungkapkan bahwa kita bisa mencapai kemajuan seperti
bangsa Barat. Berabad-abad lalu, posisi kita tidak berbeda, bahkan mungkin lebih
unggul dibandingkan dengan bangsa-bangsa Barat yang saat ini menjadi
kekuatan-kekuatan utama dunia.

Intinya adalah kita membutuhkan perubahan pola pikir. Barangkali, di antara kita
sudah banyak yang sering mendengar ungkapan "Berpikir global, bertindak lokal".
Artinya, kita membuka dan meningkatkan kemampuan diri seoptimal mungkin demi
memajukan diri atau daerah kita sendiri. Dengan cara demikian, pada akhirnya
kita juga bisa menjelma menjadi kekuatan global.

Perubahan pola pikir itu paling tepat dimulai dari sisi pendidikan: membangun
jiwa dan mental yang kuat yang disandingkan dengan kecerdasan. Sudah saatnya
kita membangun jiwa pantang menyerah.

Medan, 3 September 2009

Guntur Adi Sukma
Alumni Fakultas Hukum Universitas Samudra (Unsam) Langsa 2001

Rabu, 18 Februari 2009

Mimpi Kota Langsa

Sebagaimana yang pernah di sampaikan oleh bapak Winale, untuk merubah kota Langsa tidak perlu waktu lama, tentu ada syaratnya. Saya sendiri sangat optimis kota Langsa dapat segera bangkit dan menjadi Intan di antara tumpukan pasir. Namun hemat saya, sekurang-kurangnya di perlukan waktu 10 tahun untuk membenahi kota Langsa.

5 tahun pertama
Lima tahun pertama adalah masa untuk mengevaluasi, menganalisa, menseleksi dan menata kembali kota Langsa. Lima tahun pertama juga merupakan masa transisi. Pada masa inilah peletakan pondasi dasar kota Langsa yang maju, makmur dan sejahtera di buat.

5 tahun kedua
Setelah proses pembuatan pondasi dan transisi terlewati, saatnya memasuki masa pemantapan, monitoring, pendampingan dan pembuatan sistem yang akan menentukan masa depan kota Langsa seterusnya. Kedepannya, siapapun yang menjadi kepala daerahnya tidak masalah, karena sudah ada sebuah sistem yang berfungsi sebagai line sebagai panduan.

Penguatan Trade Mark
Posisi kota Langsa yang berada di dekat perbatasan Aceh dan Sumatra Utara memberikan nilai lebih tersendiri. Keterbatan luas wilayah dan sumberdaya alam juga bukan halangan untuk mengantarkan kota Langsa untuk maju. Saya mengusulkan kota Langsa menjadi kota Pendidikan dan Jasa. Salah satu faktor yang akan mendongkrak kemajuan adalah dengan adanya nilai lebih. Nah nilai lebih yang agaknya pas untuk kota Langsa adalah sebagai kota Pendidikan dan Jasa itu. Dengan penataan lokasi yang apik serta didukung peningkatan kualitas sdm pendidikan, kota Langsa bisa di desain menjadi kota Tujuan menuntut ilmu. Kota Jasa? Pelabuhan Kuala Langsa yang saat ini sedang bergeliat membangun merupakan modal besar untuk mendukung Langsa sebagai kota Jasa. Lihatlah singapura yang wilayahnya kecil dan tidak banyak industri, tapi bisa menjadi salah satu pusat transaksi perdagangan dunia. Saya yakin kota Langsa juga bisa demikian walau mungkin belum sampai seperti Singapura. Pernahkah kita perhatian pergerakan uang dan manusia di aceh mulai hari jum'at sore hingga hari minggu? Berbondong-bondong orang dari Aceh ke Medan, dengan berbagai kepentingan tentunya. Namun bagi saya ini merupakan sebuah ironi. Orang mencari uang di Aceh dan membuangnya di Medan. Tidak bisakah kita buat sebuah desain agar ada uangnya yang singgah di kota Langsa?

Pembenahan Pusat Belanja
Pertokoan yang berdiri seenaknya dan penataan pasar yang gak pernah selesai sudah menjadi topik rutin di media massa maupun kedai kopi. Hemat saya, Pertokoan di Jl. T. Umar dapat di tata sedemikian rupi menyerupai pusat belanja di kota-kota besar. Saya berharap tidak akan pernah ada Mall yang berdiri di kota Langsa. Yang perlu dilakukan untuk membuat kota Langsa sebagai tempat belanja yang nyaman adalah menatata ulang pusat belanjanya. Seperti yang saya kemukakan di awal paragraf ini, Pertokoan di Jl. T. Umar di tata ulang dengan memberikan canopi yang menghubungkan deretan toko sebelah utara dan selatan, sehingga sepanjang jalan T. Umar akan teduh. Pembatas jalannya di bongkar dan di gantikan dengan menata gerobak PKL (yang selama ini berada di sekitar pasar) dengan sentuhan seni serta arsitektur yang apik. Niscaya suasana Mall pun akan bisa kita ciptakan tanpa harus mengeliminir PKL dan hanya menguntungkan pemilik modal. Kemudian otomatis jalan T. Umar bebas dari lalu lintas kendaraan, murni untuk penjalan kaki yang ingin berbelanja dan menikmati suasana santai. Ini juga bisa menjadi daya tarik wisata tersendiri. Bagaimana dengan yang bawa kendaraan? Dibuat kantong-kantong parkir, bisa di sepanjang pertokoan belakang atau di tempat lain yang kondusif. Perparkiran juga perlu di kelola dengan profesional sehingga tidak terjadi kebocoran dan sepenuhnya dapat menjadi bagian dari PAD.

Bagaimana dengan penanganan pengangguran dan kemiskinan? Kita lanjutan pada tulisan yang lain lah.



Rizal
Bugis Village-Singapura

Guru Kekuatan Pengubah Masyarakat




Membandingkan bangsa Indonesia dengan bangsa tetangga yang sudah mengalami kemajuan, maka lahir pikiran untuk mengejar ketertinggalan itu.

Persoalannya melalui pintu mana untuk mengejar ketertinggalan itu. Sudah barang tentu, mendorong bangsa yang memiliki penduduk yang sedemikian besar, wilayah yang sedemikian luas, budaya dan adat kebiasaan yang beraneka ragam, tidak mudah. Akan tetapi hal itu tidak mungkin tidak dapat dicapai.

Masa reformasi yang terjadi sejak tahun 1998 sampai saat ini, bagi orang yang mau belajar, adalah pelajaran yang sangat berharga. Reformasi yang diharapkan dapat membebaskan bangsa ini dari kemandekan, ternyata juga tidak membawa hasil. Zaman orde baru yang disebut-sebut sebagai masa yang penuh suasana korup, nepotisme dan kolosi, ternyata pada masa reformasi pun, keadaan itu justru lebih menjadi-jadi.

Pada masa reformasi, jumlah uang negara yang dikorup, masyarakat yang diperas, hutan yang digunduli semakin besar dan luas. Jika suasana ini tidak segera ditemukan pemecahan melalui kekuatan yang mampu menghentikan penyimpangan itu, bangsa Indonesia akan jatuh terperosok pada kondisi yang paling hina.

Katakankah, yang disebut sebagai kekuatan pengubah itu adalah penguasa yang berwibawa, memiliki legitimasi yang kuat dan didukung oleh sebagian besar rakyat. Pertanyaannya kemudian adalah, pekerjaan besar itu dimulai dari mana? Untuk menjawab persoalan itu, yang harus diyakini, bahwa seseorang, sekelompok orang bahkan suatu bangsa, nasib mereka akan tergantung pada diri masing-masing mereka.

Tidak akan ada orang lain mampu mengubahnya kecuali diri sendiri. Oleh karena itu jika seseorang ingin berubah, maka tidak seorang pun di luar orang itu mampu mengubahnya. Selanjutnya, jika sebuah suku bangsa mau berubah, maka kekuatan pengubahnya adalah kekuatan yang ada pada suku yang bersangkutan. Demikian pula, bangsa Indonesia, jika ingin berubah maka hanya bangsa Indonesia sendiri yang mampu mengubahnya.

Jika keyakinan itu telah tertanam dan disadari oleh semua, maka semestinya gerakan berubah itu harus dilakukan oleh seluruh kekuatan yang ada di tanah air ini. Bangsa Indonesia dikenal memiliki tanah yang amat subur dan luas, lautan dan samu dera, aneka tambang dan penduduk yang sedemikian besar. Akan tetapi potensi itu tidak akan memberi makna apa-apa jika tidak memiliki kemampuan mengelolanya.

Sebagai contoh kecil, masyarakat Indonesia dikenal sebagai agraris, akan tetapi anehnya di mana-mana tanah pertaniannya kosong tidak ditanami, hutannya gundul tanpa tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan sesuatu, insinyur pertanian dan peternakannya banyak yang menganggur. Lebih lucu lagi, kebutuhan pokok seperti beras, buah-buahan dan bahkan sayur-mayur yang semestinya dapat dipenuhi oleh bangsa ini masih mengimport, gambaran ini selain menunjukkan kelucuan bangsa ini sekaligus juga membingungkan.

Oleh karena itu cara yang sekiranya tidak terlalu sulit ditempuh untuk memulai membangun bangsa adalah menggerakkan dan membimbing kembali ke basik kehidupan yang lebih nyata. Kita ajak mereka untuk menggerakkan pertanian, peternakan, perikanan, kerajinan dan lain-lain.

Kita mentargetkan agar suatu ketika lahan-lahan yang saat ini gundul dapat ditanami tanaman yang produktif. Hutan gundul segera ditanami pepohonan. Peternakan dikembangkan, perikanan laut maupun darat digalakkan.

Semua pendanaan dikonsentrasikan ke arah itu. Indonesia bangkit, diartikan seluruh potensi digerakkan untuk bangkit itu. Tidak akan pernah ada seorang petani makmur manakala kebunnya kosong dari tanaman, tidak memiliki ternak dan perikanan. Karena itu mereka harus dibimbing, diarahkan dan bahkan difasilitasi.

Itu semua akan berjalan jika jiwa bangsa, baik sebagai petani, nelayan, peternak, pedagang, perajin tumbuh kembali. Intinya adalah menumbuhkan jiwa mereka. Al Qur’an berbicara : Allah tidak akan mengubah suatu kaum sepanjang kaum itu tidak mengubah jiwanya sendiri.

Hal lain yang terkait dengan itu adalah melakukan perbaikan di bidang pendidikan. Pendidikan merupakan sarana ampuh untuk membangun akhlak dan kecerdasan serta ketrampilan. Tidak akan maju suatu bangsa tanpa dihuni oleh orang-orang berakhlak mulia dan cerdas serta trampil.

Sedangkan untuk memajukan pendidikan kuncinya adalah ada pada guru. Karena itulah sesungguhnya guru merupakan kekuatan penggerak yang amat strategis untuk mengubah masyarakat atau bangsa ini. Oleh karena itu tepat sebuah adegium yang mengatakan bahwa : “Jika kamu ingin membangun bangsamu, maka bangunlah pendidikanmu"

Dan, jika kamu ingin membangun pendidikanmu maka muliakanlah guru-gurumu”. Sayangnya, guru kita belum terlalu dipikirkan hingga menjadi lebih mulia dalam pengertian yang seluas-luasnya itu. Bahkan mereka masih harus berdemo segala untuk menuntut kesejahteraannya. Allahu a’lam

Best Regards,
Zuchra Helwani
-------------------------
School of Chemical Engineering
USM, Nibong Tebal 14300
Penang, Malaysia
Phone:+60143442605

Jumat, 06 Februari 2009

Swasembada Telur



Tahukah Anda, hari ini setidaknya 500 juta rupiah uang ditransfer ke luar Aceh, hanya sekedar untuk membayar sekitar satu juta telur yang dikonsumsi peduduk negeri Aceh tercinta? Itu fakta ketergantungan Aceh kepada provinsi tetangga. Uang sebanyak itu hanya untuk menutupi kebutuhan telur dalam satu hari, belum lagi dagingnya, belum lagi beras, minyak goreng, sayur-sayuran, buah-buahan, dan masih banyaklagi kebutuhan yang lain.

Dana Rp 500 juta itu ditransfer setiap hari. Dan jika kita tak menentukan langkah langkah strategis dan konkrit, maka semakin ke depan semakin besar uang menguap dari Aceh. Dengan demikian, Rp 15miliar/bulan atau Rp 180 miliar/tahun uang keluar dari Aceh hanya untuk beli telur. Koq sampai hati kita memperkaya pengusaha di luar Aceh, dan memberikan pekerjaan kepada masyarakat di sekitar perusahaan ternak tersebut, sementara di Aceh tercatat masih begitu banyak penganggur, baik pengangguran yang nyata maupun yang terselubung. Ironisnya lagi, uang yang amat banyak tersebut hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan telur untuk penduduk Aceh yang 4,2 juta jiwa tersebut.

Produksi vs konsumsi

Ironis, karena memproduksi telur tidaklah memerlukan teknologi yang super canggih. Endatu kita dulu memelihara ayam sudah jadi tradisi. Sekarang pun hampir setiap keluarga di gampong-gampong memelihara ayam. Yang ingin saya katakan bahwa, betapa sederhanya proses menghasilkan telur, tapi itu pun mesti kita datangkan dari luar Aceh, Sungguh kita ini hanya sekelompok masyarakat yang begitu bangga dan setia menjadi konsumen. Tapi hampir tidak ada kebanggaan menjadi produsen dan pedagang, bahkan untuk kebutuhan sendiri sekalipun.

Ingat! Ketika hanya mampu dan asyik mengkonsumsikan tanpa berusaha memproduksikan maka terjadilah proses pemiskinan . Apalagi untuk komoditas kebutuhan pokok. Bayangkan, betapa banyak uang masuk ke Aceh, tapi berapa persen uang tersebut yang mengendap di Aceh? Tanpa tujuan membesar-besarkan, lebih tiga perempat dana yang masuk tersebut justru kembali keluar Aceh. Ia hanya singgah sebentar, yang tinggal hanya uapnya saja. Akibatnya, statistik telah mencatat bahwa, `biaya hidup termahal di Indonesia adalah Kota Banda Aceh. Diperparah lagi, NAD adalah provinsi nomor tiga termiskin di Indonesia (49,58 persen penduduknya adalah miskin). Maka lengkaplah kepapaan rakyat ini. Tegasnya, jika yang dikonsumsikan lebih besar dibandingkan dengan yang dihasilkan (diproduksikan), maka pertumbuhan ekonomi secara negatif pun tak bisa dihindarkan, dan kemiskinan pun semakin menggila.

Sekarang sudah harus bertindak. Karena selama ini komoditas yang dipasok dari luar Aceh, sebenarnya secara teknis dan metodologis masih dapat kita hasilkan sendiri. Jika kita senantiasa terlena dengan kebiasaan buruk kita, yaitu hanya pandai mengkonsumsikan tanpa sedikit pun berusaha memanfaatkan kecerdasan yang Allah berikan untuk menjadi produsen. Minimal, untuk tahap awal harus mampu memenuhi kebutuhan pokok kita, sederhananya dikenal dengan swasembada. Ya, swasembada telur, swasembada daging ayam, lembu, dan sekian swasembada lainnya.

Kenapa mesti telur?

Falsafanya, ketika kita hendak memulai sesuatu, orang senantiasa bertanya mana duluan ayam atau telur? Ruang debat mengenai ini tak akan pernah selesai, sehingga kerja nyata pun tak pernah wujud. Nah, sekarang kita harus sepakat, mari dari sekarang, memulainya dari yang paling sederhana dan paling mungkin dilaksanakan. Kemudian secara bertahap kita mesti bergerak dari impor ke swasembada, dan dari swasembada ke ekspor untuk komoditas tertentu, dan jika kita memiliki komoditas yang imejnya baik -semacam kopi-, tentulah langkah beikutnya adalah menjadikan ia produk yang diwujudkan melalui proses transformasi pasca panen.

Pembangunan ekonomi Aceh mestilah dirancang dengan baik, sehingga bisa bertumbuh dengan baik pula. Seandainya, swasembada telur wujud di Aceh, maka Aceh tak perlu lagi mentransfer dana sebesar Rp 180 miliar setiap tahunnya ke luar Aceh hanya untuk sekedar membeli telur. Dengan demikian, uang tersebut sepenuhnya akan beredar di Aceh. Menarik lagi, tentu uang itu akan mencipatakan efek ganda terhadap pembangunan ekonomi dan akan menjadikan sumber pendapatan masyarakat Aceh.

Saya bukan anti produk luar Aceh. Tetapi kita lebih rasional dalam membelanjakan uang. Pertanyaan bisa muncul; kalau kita bisa bikin sendiri kenapa harus didatangkan dari luar? Kecuali kita mampu menghasilkan produk lain yang memberikan nilai tambah yang lebih tinggi. Ini akan wujud, tentu jika kita memiliki keunggulan kompetetif yang cukup tinggi untuk menghasilkan produk yang lain tersebut. Bagaimana pun, cinta produk buatan sendiri sesuatu yang rasional dan wajar. Untuk tujuan itu, tak perlu pula dengan cara membatasi masuknya komoditas luar ke Aceh. Itu gaya preman namanya. Tetapi haruslah bertindak secara jantan. Ya, bersaing secara fair.

Peranan pemerintah

Saya setuju pendapat yang mengatakan; tidak fair kalau usaha kecil diminta bersaing secara fair dengan usaha raksasa . Di sinilah letak peranan pemerintah. Secara teoritis, pemerintah dilarang berbisnis, kecuali bisnis tersebut tak mampu dan tak mau dijalankan swasta. Karena itu, peranan pemerintah yang diharapkan di sini adalah menggerakkan, memberdayakan, dan memfasilitasi masyarakat agar mereka mau bergerak di sektor semacam produksi telur ini.

Ketika gagasan usaha memproduksi telur yang serius di Aceh saya sampaikan di pelbagai pertemuan, ada yang mengganggap ide tersebut sama sekali tak logis dengan mengatakan, Pak prof, ide peternakan ayam petelur yang Anda usulkan itu hanyalah sebatas teori. Tak Realistis. Kawan saya di kawasan Bireuen pernah berternak ayam petelur lebih dari 40 ribu ekor, tetapi beberapa bulan saja bertahan, setelah itu bangkrut. Begitu juga nasib peternak ayam di Aceh Besar, ia pun tak begitu lama bertahan, dan akhirnya bangkrut juga.

Sebetulnya, gagalnya peternakan ayam seperti itu adalah fakta. Bagi saya, gagallah keterwujudan sesuatu teori jika ia bukanlah sebuah fakta. Jadi, peternakan apa saja akan gagal, jika tidak dirancang secara terstruktur dan bersistem. Itu sebabnya, ketika kita membicarakan usaha peternakan ayam, maka harus disadari keterkaitan antara usaha peternakan tersebut dengan pakannya. Industri pakan ternak tak bisa dilepaskan dengan petani yang mengasilkan bahan baku pakan ternak tersebut.

Sumber kegagalan utama dari peternakan ayam di Aceh selama ini adalah sebagian besar pakan ayam mereka justru masih berasal dari Medan. Jadi, ketika harga pakan ayam yang diproduksi oleh pengusaha dari luar Aceh lebih tinggi, maka harga telur atau daging ayam produksi pengusaha Aceh sangat tidak kompetitif jika bersaing dengan produsen dari Sumatera Utara, karena kos perunit telur atau ayam mereka jauh lebih rendah dibandingkan kos perunit produsen di Aceh. Di samping itu, skala ekonomi yang sempit juga mengakibatkan tingginya kos perunit. Karena itu, disainlah sistemnya, yaitu ikatlah mata rantai penting: peternakan ayam, industri pakan, dan petani penghasil bahan baku pakan ayam. Sehingga integrasi ini akan mewujudkan sinergitas dan sekaligus menghasilkan skala atau kapasitas produksi yang ekonomis.

Bagaimana dengan kapasitas produksi yang perlu dirancang? Andai saja setiap satu butir telur dikonsumsikan oleh tiga orang, maka dengan jumlah penduduk Aceh sekarang ini yang melebihi 4 juta orang, maka akan terserap hampir satu juta lima ratus ribu butir telur ayam setiap hari. Katakan saja, masyarakat Aceh telah menghasilkan sendiri setengah juta telur sehari, maka selama ini Aceh memasok telur dari luar Aceh sekitar satu juta butir telur perhari. Kekurangan yang diisi dari luar Aceh inilah yang menjadi celah kapasitas produksi telur ayam. Tentu peluang bisnis semacam ini amat menarik bagi masyarakat dalam hal peternakan ayam petelur, pabrik pengolahan pakan ternak, dan petani penggarap tanaman jagung atau kedelai. Mungkin akan terserap ribuan tenaga kerja dalam sektor peternakan yang terintegrasi semacam ini.

Efek Ganda

Jika Anda membeli sebutir telur ayam, maka sebagian dari uang bayaran Anda itu akan mengalir untuk memenuhi kebutuhan internal karyawan perusahaan berupa upah yang hidup dan tinggal di Aceh. Sebagian lagi akan mengalir ke perusahaan produsen pakan ayam, lalu dari produsen pakan akan mengalir jauh kepada para petani penghasil bahan baku pakan unggas tersebut. Begitulah efek ganda tercipta.

Bayangkan saja, jika satu juta telur dalam sehari, tentulah mencapai 180 milyar harga pembelian telur dalam setahun. Efek ganda pun tercipta. Mungkin, dana yang sebesar 180 tersebut berlipatganda efeknya menjadi setengah trilyun rupiah dalam pertumbuhan ekonomi di Aceh. Sungguh menakjubkan kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi di Aceh.

Sayup sayup terdengar oleh saya ajaran sesat berikut: jangan ambil resiko, memelihara ayam akan mengundang virus flu burung . Kerisauan seperti ini hanya ciptaan dan propaganda peternak ayam raksaa yang hingga sekarang sedang menikmati untung besar. Peternak ayam Amerika Serikat adalah produsen telur dan ayam terbesar di dunia, dan Indonesia salah satu negara yang amat doyan mengimpor paha ayam Amerika. Kenapa di sana aman dari serangan virus flu burung? Begitu juga dengan negara tetangga kita, yang mana Malaysia juga aman dari serangan virus flu burung. Jika kita perhatikan di Indonesia, yang dicurigai sumber virus flu burung adalah peternak kecil-kecilan. Jadi, sebenarnya, beternak ayam tidak secara otomatis akan beternak virus flu burung.

Sebagai bencmark, kenapa Malaysia atau Amerika aman dari virus flu burung? Karena teknologi peternakannya memungkinkan untuk itu. Jadi dengan alasan kesehatan masyarakat, peternakan ayam yang memenuhi standar mutu tertentu amatlah Welcome.

Bagaimana dengan modal usaha? Jangan banyak berharap agar pengusaha mau bergerak di sektor peternakan dengan meminta mereka meminjam uang di Bank. Bunga bank saja 15% pertahun, belum lagi provisi, fee notaris, dan asuransi. Sekali lagi, di sinilah peranan pemerintah bermain, bebaskan mereka dari tetek bengek fee dan asuransi, serta berikan fasilitas subsidi bunga bank untuk mereka. Begitu banyak dana pemerintah daerah mengendap di Bank BPD Aceh.

Penulis: Prof. Dr. Jasman J. Ma´ruf, SE, MBA (Guru Besar Manajemen
Fakultas Ekonomi Unsyiah).

Sumber Tulisan : Serambi Indonesia

Rabu, 04 Februari 2009

Hutan Mangrove





Kalau kita melakukan perjalanan menuju arah barat dari kota Langsa tentu kita akan mulai mengenali habitat hutan bakau yg berada di sepanjang beberapa ruas jalan di sebelah kanan kita, nantinya kawasan hutan bakau yg bisa dilihat oleh mata kalau kita lagi berkenderaan akan berakhir di daerah Rantau Panjang Bayeun. Zona hutan bakau tersebut hingga periode awal-awal tahun 80-an masih asri dan tepat untuk disebut hutan perawan. Sewaktu masih SD aku sering menerobos salah satu kawasan hutan yg menjadi tempat kami rutin bermain di kelokan sungai2 kecil yg berada di dalam hutan bakau itu. Mencari kepiting, udang dan ikan dengan alat apa adanya. Biasanya kami gak bawa alat2 apapun kelucali memakai alat2 orang lain yg ditinggalin di sekitar daerah penambatan perahu di antara belukar hutan bakau.

Karena masih asri, hutan tersebut juga masih memeiliki margasatwa yg lengkap antara lain seperti babi hutan yang selalu kami temui jejaknya dan pernah dari jarak jauh melihat gerombolan babi itu sedang mengobrak-abrik tanah bakau, terus tentu saja monyet merah, tak terhitung berjenis-jenis burung, ada lagi jejak kaki harimau yg berarti ada harimaunya di hutan tersebut, ihhh ... Kalau ingat masa-masa itu rasanya kami memang terlalu berani bermain di hutan perawan yg ada harimaunya. Kadang tidak sering selagi main di hutan itu kami mendengar berbagai macam suara campur aduk. Suara monyet, suara babi mendengus dicampur macam2 suara burung, semua itu asli musik ciptaan Allah SWT yang sekarang sudah hampir mustahil untuk diperoleh di sekitar rumah. Dulu musik yang akrab masuk telinga ialah nyanyian berbagai macam suara dari pemberian alam yg disebutkan tadi. Yang paling terkenang ialah suara enggang, kutilang, balam, sri gunting, dll saat mana burung2 itu hinggap di pepohonan dekat rumah dalam perjalanannya dari dan menuju hutan di arah selatan. Dulu ya mana ada yang namanya iPhone, iPhod, MP3 atau handphone untuk di bawa ke mana2 mendengarkan musik. Jangankan handphone, rekaman musik yg disimpan di keping CD aja belum lahir di bumi pertiwi, Indonesia. Sehingga yang namanya anak kampung dan anak ndeso kayak aku ini mengenal musik ialah dengan cara melebarkan telinga mendengar suara-suara yg alam berikan. Kalau pagi dan petang mendengar suara alam karena burung banyak di sekitar rumah dan di pinggir sawah yg berkicau, maka di malam hari mendengarkan nyanyian jangkrik yg mungkin sedang mencari pasangan hidupnya, atau suara kelebatan kelelawar yg bernafsu sekali untuk menghabisi jambu matang dan ranum di samping rumah. Sesekali kedengaran lolong kepedihan anjing kampung sayup-sayup dari balik pebukitan, mendirikan bulu roma untuk memaksa segera merapatkan selimut untuk segera tidur sambil berusaha menghilangkan pikiran liar adanya setan gentayangan.

Kembali ke hutan bakau, aku masih ingat sekali dengan semua jejak keasrian dan kerimbunan hutan bakau yg dimiliki Aceh Timur dulunya, dan bagaimana akhirnya hutan itu lenyap disapu ketamakan manusia aku juga melihatnya sementara merasa bengong tak bisa berbuat apa-apa petak demi petak hutan bakau tersebut pelan dan pasti hilang dari sejarah. Seperti berjangkitnya penyakit kulit di tubuh manusia, hilangnya hutan bakau di Langsa juga memiliki persamaan seperti itu, menjalar pelan dan pasti menjadi bentuk lebar yg akhirnya menghabisi apa saja yg tersisa. Sepetak demi sepetak hutan terkikis habis oleh nafsu dan kerakusan manusia yg didukung oleh ketidakpedulian pemerintah daerahnya. Kerugian yg diderita kabupaten Langsa ialah bukan karena hilangnya sumber alami yg dikandung buminya - yg dengan penataan dan policy yg tepat bisa diupayakan untuk kembali - tetapi bencana yg diderita kabupaten Langsa ialah tidak adanya pemimpin yg memanfaatkan wewenang dan tugasnya untuk melestarikan alam dan lingkungan tersebut. Tipe pemimpin seperti ini merupakan musibah bagi daerah manapun di muka bumi ini. Pemimpin dan masyarakat Langsa (entah kalau sekarang apa masih serupa) memiliki karakter yg mirip, sama2 tidak peduli dengan penggerogotan kekayaan alam, berlomba untuk menghancurkan alam anugerah pemberian Allah SWT.

Raibnya hutan bakau adalah contoh dari bentuk keburukan pemimpin dan masyarakat yg disebut di atas. Sekarang yg namanya hutan bakau di sepanjang garis pantai Aceh Timur hanya sekedar rumpun semak, ranting2 muda dari jejak pohon tua yg sedang tumbuh. Karena alam sudah dirusak, maka alam juga memberi efeknya ke pada kita. Hal ini di mana pun bisa kita saksikan dampaknya. Seperti kita tahu sebagian lahan dari hutan bakau itu berubah fungsi jadi tambak2 udang dan ikan. Namun karena alam di situ bukan lagi seasli sebelumnya, apa yg diharap dari tambak itu tidak memenuhi harapan. Gagal panen adalah cerita biasa di kalangan petani tambak. Bagaimana mau panen di lahan yg sudah dirusak? Udang2 yg dipelihara di tambak tentu hidup dalam ketidak-aslian habitat mereka dibanding sewaktu hutan bakau itu masih perawan.

Hutan bakau adalah satu dari sekian cerita bagaimana manusia serakah dan tamak merusak bumi dan lingkungan. Mereka itu seperti apa yg dikatakan di Quran, kelompok orang yg melakukan kerusakan di muka bumi. Dalam hal ini kerusakan bumi secara harfiah, malah. Bagaimana dengan hutan daratan? Aku masih ingat betul dan siapapun akan masih dengan jelas mengingat masa-masa kecilnya kalau dia berada di dekat pinggiran sungai. Kalau mereka yg terlahir di sekitar tahun sebelum dan sesudah 1965, pasti ketika masa-masa SD (masa di mana suka keliaran dan menyatu dengan aktivitas sungai) akan mengingat bahwa semua sungai yg mengalir di Aceh sana masih mengalirkan air yg bening, warnanya berubah-ubah antara hijau pekat dan hijau muda dan tak jarang tampak sebiru air laut, kalaupun keruh itu cuman ketika hujan datang saja. Tetapi beberapa dekade belakangan semua sungai di sana sepanjang tahun keruh terus airnya kental seperti lumpur. Mengapa begitu? Ya kerena kita tahu betul, tanah dan bumi di hulu sungai habis-habisan digerogoti manusia loba dan tamak yg tentu saja hal itu sepengetahuan dan mengikuti kebijakan ekploitasi ekonomi yg buruk oleh pemimpin daerah setempat. Siapa saja yg pernah melakukan penerbangan Medan-Lhokseumawe pasti akan melihat petak-petak kegundulan di seputaran dekat kawasan Bukit Barisan, dan setiap sungai yang mengalir hingga ke hilir bisa dilihat bersatunya air sungai dengan bibir laut begitu kontras, warna coklat keruh berbatasan dengan birunya air laut, secara kasat mata juga bisa dilihat sedimentasi lumpur di mulut muara!

Mengapa itu semua terjadi? Karena nasib sial daerah tersebut memiliki pemimpin yang masuk golongan orang2 yang melakukan kerusakan dimuka bumi, seperti Quran telah mensitir. Ke masa depan, sangat wajib hukumnya warga Langsa untuk memilih pemimpin yg punya tangan "besi" untuk menciptakan pelaksanaan hukum dan kebijakan daerah yg mengutamakan kecintaan pada pelestarian alam. Harus dicari sosok pemimpin yg berani mengesampingkan kelompok orang2 yg karena kerakusannya melakukan kerusakan di muka bumi itu.



Winal
Pengamat ekologi amatir
Eksodus dari Aramiah-Bayeun
Sekarang di Qatar

 
© free template by Blogspot tutorial