Jumat, 06 Februari 2009

Swasembada Telur



Tahukah Anda, hari ini setidaknya 500 juta rupiah uang ditransfer ke luar Aceh, hanya sekedar untuk membayar sekitar satu juta telur yang dikonsumsi peduduk negeri Aceh tercinta? Itu fakta ketergantungan Aceh kepada provinsi tetangga. Uang sebanyak itu hanya untuk menutupi kebutuhan telur dalam satu hari, belum lagi dagingnya, belum lagi beras, minyak goreng, sayur-sayuran, buah-buahan, dan masih banyaklagi kebutuhan yang lain.

Dana Rp 500 juta itu ditransfer setiap hari. Dan jika kita tak menentukan langkah langkah strategis dan konkrit, maka semakin ke depan semakin besar uang menguap dari Aceh. Dengan demikian, Rp 15miliar/bulan atau Rp 180 miliar/tahun uang keluar dari Aceh hanya untuk beli telur. Koq sampai hati kita memperkaya pengusaha di luar Aceh, dan memberikan pekerjaan kepada masyarakat di sekitar perusahaan ternak tersebut, sementara di Aceh tercatat masih begitu banyak penganggur, baik pengangguran yang nyata maupun yang terselubung. Ironisnya lagi, uang yang amat banyak tersebut hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan telur untuk penduduk Aceh yang 4,2 juta jiwa tersebut.

Produksi vs konsumsi

Ironis, karena memproduksi telur tidaklah memerlukan teknologi yang super canggih. Endatu kita dulu memelihara ayam sudah jadi tradisi. Sekarang pun hampir setiap keluarga di gampong-gampong memelihara ayam. Yang ingin saya katakan bahwa, betapa sederhanya proses menghasilkan telur, tapi itu pun mesti kita datangkan dari luar Aceh, Sungguh kita ini hanya sekelompok masyarakat yang begitu bangga dan setia menjadi konsumen. Tapi hampir tidak ada kebanggaan menjadi produsen dan pedagang, bahkan untuk kebutuhan sendiri sekalipun.

Ingat! Ketika hanya mampu dan asyik mengkonsumsikan tanpa berusaha memproduksikan maka terjadilah proses pemiskinan . Apalagi untuk komoditas kebutuhan pokok. Bayangkan, betapa banyak uang masuk ke Aceh, tapi berapa persen uang tersebut yang mengendap di Aceh? Tanpa tujuan membesar-besarkan, lebih tiga perempat dana yang masuk tersebut justru kembali keluar Aceh. Ia hanya singgah sebentar, yang tinggal hanya uapnya saja. Akibatnya, statistik telah mencatat bahwa, `biaya hidup termahal di Indonesia adalah Kota Banda Aceh. Diperparah lagi, NAD adalah provinsi nomor tiga termiskin di Indonesia (49,58 persen penduduknya adalah miskin). Maka lengkaplah kepapaan rakyat ini. Tegasnya, jika yang dikonsumsikan lebih besar dibandingkan dengan yang dihasilkan (diproduksikan), maka pertumbuhan ekonomi secara negatif pun tak bisa dihindarkan, dan kemiskinan pun semakin menggila.

Sekarang sudah harus bertindak. Karena selama ini komoditas yang dipasok dari luar Aceh, sebenarnya secara teknis dan metodologis masih dapat kita hasilkan sendiri. Jika kita senantiasa terlena dengan kebiasaan buruk kita, yaitu hanya pandai mengkonsumsikan tanpa sedikit pun berusaha memanfaatkan kecerdasan yang Allah berikan untuk menjadi produsen. Minimal, untuk tahap awal harus mampu memenuhi kebutuhan pokok kita, sederhananya dikenal dengan swasembada. Ya, swasembada telur, swasembada daging ayam, lembu, dan sekian swasembada lainnya.

Kenapa mesti telur?

Falsafanya, ketika kita hendak memulai sesuatu, orang senantiasa bertanya mana duluan ayam atau telur? Ruang debat mengenai ini tak akan pernah selesai, sehingga kerja nyata pun tak pernah wujud. Nah, sekarang kita harus sepakat, mari dari sekarang, memulainya dari yang paling sederhana dan paling mungkin dilaksanakan. Kemudian secara bertahap kita mesti bergerak dari impor ke swasembada, dan dari swasembada ke ekspor untuk komoditas tertentu, dan jika kita memiliki komoditas yang imejnya baik -semacam kopi-, tentulah langkah beikutnya adalah menjadikan ia produk yang diwujudkan melalui proses transformasi pasca panen.

Pembangunan ekonomi Aceh mestilah dirancang dengan baik, sehingga bisa bertumbuh dengan baik pula. Seandainya, swasembada telur wujud di Aceh, maka Aceh tak perlu lagi mentransfer dana sebesar Rp 180 miliar setiap tahunnya ke luar Aceh hanya untuk sekedar membeli telur. Dengan demikian, uang tersebut sepenuhnya akan beredar di Aceh. Menarik lagi, tentu uang itu akan mencipatakan efek ganda terhadap pembangunan ekonomi dan akan menjadikan sumber pendapatan masyarakat Aceh.

Saya bukan anti produk luar Aceh. Tetapi kita lebih rasional dalam membelanjakan uang. Pertanyaan bisa muncul; kalau kita bisa bikin sendiri kenapa harus didatangkan dari luar? Kecuali kita mampu menghasilkan produk lain yang memberikan nilai tambah yang lebih tinggi. Ini akan wujud, tentu jika kita memiliki keunggulan kompetetif yang cukup tinggi untuk menghasilkan produk yang lain tersebut. Bagaimana pun, cinta produk buatan sendiri sesuatu yang rasional dan wajar. Untuk tujuan itu, tak perlu pula dengan cara membatasi masuknya komoditas luar ke Aceh. Itu gaya preman namanya. Tetapi haruslah bertindak secara jantan. Ya, bersaing secara fair.

Peranan pemerintah

Saya setuju pendapat yang mengatakan; tidak fair kalau usaha kecil diminta bersaing secara fair dengan usaha raksasa . Di sinilah letak peranan pemerintah. Secara teoritis, pemerintah dilarang berbisnis, kecuali bisnis tersebut tak mampu dan tak mau dijalankan swasta. Karena itu, peranan pemerintah yang diharapkan di sini adalah menggerakkan, memberdayakan, dan memfasilitasi masyarakat agar mereka mau bergerak di sektor semacam produksi telur ini.

Ketika gagasan usaha memproduksi telur yang serius di Aceh saya sampaikan di pelbagai pertemuan, ada yang mengganggap ide tersebut sama sekali tak logis dengan mengatakan, Pak prof, ide peternakan ayam petelur yang Anda usulkan itu hanyalah sebatas teori. Tak Realistis. Kawan saya di kawasan Bireuen pernah berternak ayam petelur lebih dari 40 ribu ekor, tetapi beberapa bulan saja bertahan, setelah itu bangkrut. Begitu juga nasib peternak ayam di Aceh Besar, ia pun tak begitu lama bertahan, dan akhirnya bangkrut juga.

Sebetulnya, gagalnya peternakan ayam seperti itu adalah fakta. Bagi saya, gagallah keterwujudan sesuatu teori jika ia bukanlah sebuah fakta. Jadi, peternakan apa saja akan gagal, jika tidak dirancang secara terstruktur dan bersistem. Itu sebabnya, ketika kita membicarakan usaha peternakan ayam, maka harus disadari keterkaitan antara usaha peternakan tersebut dengan pakannya. Industri pakan ternak tak bisa dilepaskan dengan petani yang mengasilkan bahan baku pakan ternak tersebut.

Sumber kegagalan utama dari peternakan ayam di Aceh selama ini adalah sebagian besar pakan ayam mereka justru masih berasal dari Medan. Jadi, ketika harga pakan ayam yang diproduksi oleh pengusaha dari luar Aceh lebih tinggi, maka harga telur atau daging ayam produksi pengusaha Aceh sangat tidak kompetitif jika bersaing dengan produsen dari Sumatera Utara, karena kos perunit telur atau ayam mereka jauh lebih rendah dibandingkan kos perunit produsen di Aceh. Di samping itu, skala ekonomi yang sempit juga mengakibatkan tingginya kos perunit. Karena itu, disainlah sistemnya, yaitu ikatlah mata rantai penting: peternakan ayam, industri pakan, dan petani penghasil bahan baku pakan ayam. Sehingga integrasi ini akan mewujudkan sinergitas dan sekaligus menghasilkan skala atau kapasitas produksi yang ekonomis.

Bagaimana dengan kapasitas produksi yang perlu dirancang? Andai saja setiap satu butir telur dikonsumsikan oleh tiga orang, maka dengan jumlah penduduk Aceh sekarang ini yang melebihi 4 juta orang, maka akan terserap hampir satu juta lima ratus ribu butir telur ayam setiap hari. Katakan saja, masyarakat Aceh telah menghasilkan sendiri setengah juta telur sehari, maka selama ini Aceh memasok telur dari luar Aceh sekitar satu juta butir telur perhari. Kekurangan yang diisi dari luar Aceh inilah yang menjadi celah kapasitas produksi telur ayam. Tentu peluang bisnis semacam ini amat menarik bagi masyarakat dalam hal peternakan ayam petelur, pabrik pengolahan pakan ternak, dan petani penggarap tanaman jagung atau kedelai. Mungkin akan terserap ribuan tenaga kerja dalam sektor peternakan yang terintegrasi semacam ini.

Efek Ganda

Jika Anda membeli sebutir telur ayam, maka sebagian dari uang bayaran Anda itu akan mengalir untuk memenuhi kebutuhan internal karyawan perusahaan berupa upah yang hidup dan tinggal di Aceh. Sebagian lagi akan mengalir ke perusahaan produsen pakan ayam, lalu dari produsen pakan akan mengalir jauh kepada para petani penghasil bahan baku pakan unggas tersebut. Begitulah efek ganda tercipta.

Bayangkan saja, jika satu juta telur dalam sehari, tentulah mencapai 180 milyar harga pembelian telur dalam setahun. Efek ganda pun tercipta. Mungkin, dana yang sebesar 180 tersebut berlipatganda efeknya menjadi setengah trilyun rupiah dalam pertumbuhan ekonomi di Aceh. Sungguh menakjubkan kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi di Aceh.

Sayup sayup terdengar oleh saya ajaran sesat berikut: jangan ambil resiko, memelihara ayam akan mengundang virus flu burung . Kerisauan seperti ini hanya ciptaan dan propaganda peternak ayam raksaa yang hingga sekarang sedang menikmati untung besar. Peternak ayam Amerika Serikat adalah produsen telur dan ayam terbesar di dunia, dan Indonesia salah satu negara yang amat doyan mengimpor paha ayam Amerika. Kenapa di sana aman dari serangan virus flu burung? Begitu juga dengan negara tetangga kita, yang mana Malaysia juga aman dari serangan virus flu burung. Jika kita perhatikan di Indonesia, yang dicurigai sumber virus flu burung adalah peternak kecil-kecilan. Jadi, sebenarnya, beternak ayam tidak secara otomatis akan beternak virus flu burung.

Sebagai bencmark, kenapa Malaysia atau Amerika aman dari virus flu burung? Karena teknologi peternakannya memungkinkan untuk itu. Jadi dengan alasan kesehatan masyarakat, peternakan ayam yang memenuhi standar mutu tertentu amatlah Welcome.

Bagaimana dengan modal usaha? Jangan banyak berharap agar pengusaha mau bergerak di sektor peternakan dengan meminta mereka meminjam uang di Bank. Bunga bank saja 15% pertahun, belum lagi provisi, fee notaris, dan asuransi. Sekali lagi, di sinilah peranan pemerintah bermain, bebaskan mereka dari tetek bengek fee dan asuransi, serta berikan fasilitas subsidi bunga bank untuk mereka. Begitu banyak dana pemerintah daerah mengendap di Bank BPD Aceh.

Penulis: Prof. Dr. Jasman J. Ma´ruf, SE, MBA (Guru Besar Manajemen
Fakultas Ekonomi Unsyiah).

Sumber Tulisan : Serambi Indonesia

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial