Rabu, 04 Februari 2009

Hutan Mangrove





Kalau kita melakukan perjalanan menuju arah barat dari kota Langsa tentu kita akan mulai mengenali habitat hutan bakau yg berada di sepanjang beberapa ruas jalan di sebelah kanan kita, nantinya kawasan hutan bakau yg bisa dilihat oleh mata kalau kita lagi berkenderaan akan berakhir di daerah Rantau Panjang Bayeun. Zona hutan bakau tersebut hingga periode awal-awal tahun 80-an masih asri dan tepat untuk disebut hutan perawan. Sewaktu masih SD aku sering menerobos salah satu kawasan hutan yg menjadi tempat kami rutin bermain di kelokan sungai2 kecil yg berada di dalam hutan bakau itu. Mencari kepiting, udang dan ikan dengan alat apa adanya. Biasanya kami gak bawa alat2 apapun kelucali memakai alat2 orang lain yg ditinggalin di sekitar daerah penambatan perahu di antara belukar hutan bakau.

Karena masih asri, hutan tersebut juga masih memeiliki margasatwa yg lengkap antara lain seperti babi hutan yang selalu kami temui jejaknya dan pernah dari jarak jauh melihat gerombolan babi itu sedang mengobrak-abrik tanah bakau, terus tentu saja monyet merah, tak terhitung berjenis-jenis burung, ada lagi jejak kaki harimau yg berarti ada harimaunya di hutan tersebut, ihhh ... Kalau ingat masa-masa itu rasanya kami memang terlalu berani bermain di hutan perawan yg ada harimaunya. Kadang tidak sering selagi main di hutan itu kami mendengar berbagai macam suara campur aduk. Suara monyet, suara babi mendengus dicampur macam2 suara burung, semua itu asli musik ciptaan Allah SWT yang sekarang sudah hampir mustahil untuk diperoleh di sekitar rumah. Dulu musik yang akrab masuk telinga ialah nyanyian berbagai macam suara dari pemberian alam yg disebutkan tadi. Yang paling terkenang ialah suara enggang, kutilang, balam, sri gunting, dll saat mana burung2 itu hinggap di pepohonan dekat rumah dalam perjalanannya dari dan menuju hutan di arah selatan. Dulu ya mana ada yang namanya iPhone, iPhod, MP3 atau handphone untuk di bawa ke mana2 mendengarkan musik. Jangankan handphone, rekaman musik yg disimpan di keping CD aja belum lahir di bumi pertiwi, Indonesia. Sehingga yang namanya anak kampung dan anak ndeso kayak aku ini mengenal musik ialah dengan cara melebarkan telinga mendengar suara-suara yg alam berikan. Kalau pagi dan petang mendengar suara alam karena burung banyak di sekitar rumah dan di pinggir sawah yg berkicau, maka di malam hari mendengarkan nyanyian jangkrik yg mungkin sedang mencari pasangan hidupnya, atau suara kelebatan kelelawar yg bernafsu sekali untuk menghabisi jambu matang dan ranum di samping rumah. Sesekali kedengaran lolong kepedihan anjing kampung sayup-sayup dari balik pebukitan, mendirikan bulu roma untuk memaksa segera merapatkan selimut untuk segera tidur sambil berusaha menghilangkan pikiran liar adanya setan gentayangan.

Kembali ke hutan bakau, aku masih ingat sekali dengan semua jejak keasrian dan kerimbunan hutan bakau yg dimiliki Aceh Timur dulunya, dan bagaimana akhirnya hutan itu lenyap disapu ketamakan manusia aku juga melihatnya sementara merasa bengong tak bisa berbuat apa-apa petak demi petak hutan bakau tersebut pelan dan pasti hilang dari sejarah. Seperti berjangkitnya penyakit kulit di tubuh manusia, hilangnya hutan bakau di Langsa juga memiliki persamaan seperti itu, menjalar pelan dan pasti menjadi bentuk lebar yg akhirnya menghabisi apa saja yg tersisa. Sepetak demi sepetak hutan terkikis habis oleh nafsu dan kerakusan manusia yg didukung oleh ketidakpedulian pemerintah daerahnya. Kerugian yg diderita kabupaten Langsa ialah bukan karena hilangnya sumber alami yg dikandung buminya - yg dengan penataan dan policy yg tepat bisa diupayakan untuk kembali - tetapi bencana yg diderita kabupaten Langsa ialah tidak adanya pemimpin yg memanfaatkan wewenang dan tugasnya untuk melestarikan alam dan lingkungan tersebut. Tipe pemimpin seperti ini merupakan musibah bagi daerah manapun di muka bumi ini. Pemimpin dan masyarakat Langsa (entah kalau sekarang apa masih serupa) memiliki karakter yg mirip, sama2 tidak peduli dengan penggerogotan kekayaan alam, berlomba untuk menghancurkan alam anugerah pemberian Allah SWT.

Raibnya hutan bakau adalah contoh dari bentuk keburukan pemimpin dan masyarakat yg disebut di atas. Sekarang yg namanya hutan bakau di sepanjang garis pantai Aceh Timur hanya sekedar rumpun semak, ranting2 muda dari jejak pohon tua yg sedang tumbuh. Karena alam sudah dirusak, maka alam juga memberi efeknya ke pada kita. Hal ini di mana pun bisa kita saksikan dampaknya. Seperti kita tahu sebagian lahan dari hutan bakau itu berubah fungsi jadi tambak2 udang dan ikan. Namun karena alam di situ bukan lagi seasli sebelumnya, apa yg diharap dari tambak itu tidak memenuhi harapan. Gagal panen adalah cerita biasa di kalangan petani tambak. Bagaimana mau panen di lahan yg sudah dirusak? Udang2 yg dipelihara di tambak tentu hidup dalam ketidak-aslian habitat mereka dibanding sewaktu hutan bakau itu masih perawan.

Hutan bakau adalah satu dari sekian cerita bagaimana manusia serakah dan tamak merusak bumi dan lingkungan. Mereka itu seperti apa yg dikatakan di Quran, kelompok orang yg melakukan kerusakan di muka bumi. Dalam hal ini kerusakan bumi secara harfiah, malah. Bagaimana dengan hutan daratan? Aku masih ingat betul dan siapapun akan masih dengan jelas mengingat masa-masa kecilnya kalau dia berada di dekat pinggiran sungai. Kalau mereka yg terlahir di sekitar tahun sebelum dan sesudah 1965, pasti ketika masa-masa SD (masa di mana suka keliaran dan menyatu dengan aktivitas sungai) akan mengingat bahwa semua sungai yg mengalir di Aceh sana masih mengalirkan air yg bening, warnanya berubah-ubah antara hijau pekat dan hijau muda dan tak jarang tampak sebiru air laut, kalaupun keruh itu cuman ketika hujan datang saja. Tetapi beberapa dekade belakangan semua sungai di sana sepanjang tahun keruh terus airnya kental seperti lumpur. Mengapa begitu? Ya kerena kita tahu betul, tanah dan bumi di hulu sungai habis-habisan digerogoti manusia loba dan tamak yg tentu saja hal itu sepengetahuan dan mengikuti kebijakan ekploitasi ekonomi yg buruk oleh pemimpin daerah setempat. Siapa saja yg pernah melakukan penerbangan Medan-Lhokseumawe pasti akan melihat petak-petak kegundulan di seputaran dekat kawasan Bukit Barisan, dan setiap sungai yang mengalir hingga ke hilir bisa dilihat bersatunya air sungai dengan bibir laut begitu kontras, warna coklat keruh berbatasan dengan birunya air laut, secara kasat mata juga bisa dilihat sedimentasi lumpur di mulut muara!

Mengapa itu semua terjadi? Karena nasib sial daerah tersebut memiliki pemimpin yang masuk golongan orang2 yang melakukan kerusakan dimuka bumi, seperti Quran telah mensitir. Ke masa depan, sangat wajib hukumnya warga Langsa untuk memilih pemimpin yg punya tangan "besi" untuk menciptakan pelaksanaan hukum dan kebijakan daerah yg mengutamakan kecintaan pada pelestarian alam. Harus dicari sosok pemimpin yg berani mengesampingkan kelompok orang2 yg karena kerakusannya melakukan kerusakan di muka bumi itu.



Winal
Pengamat ekologi amatir
Eksodus dari Aramiah-Bayeun
Sekarang di Qatar

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial